Kali ini aku akan membahas tentang Whatsapp. Oleh pengembangnya, aplikasi ini disebut sebagai aplikasi instant messaging atau chatting. Karena itu, aplikasi ini seharusnya digunakan sebagai alat untuk mengobrol santai yang tidak formal. Sayangnya, saat ini aplikasi tersebut sering digunakan sebagai media komunikasi yang seolah-olah resmi, khususnya di instansi. Tapi, bagaimana sih sebenarnya, yuk kita simak.
Apa itu Whatsapp
Whatsapp pertama kali diciptakan pada Februari 2009 oleh Jan Koum dan Brian Acton. Keduanya merupakan mantan karyawan Yahoo!. Awal diciptakan, aplikasi ini tidak ditujukan untuk chatting, tapi hanya untuk menampilkan status pengguna. Misalnya, “sedang rapat”, “sedang sibuk”, dll. Seiring berjalannya waktu, aplikasi ini berubah menjadi aplikasi messaging yang dapat mengirim teks, gambar, video menggunakan koneksi internet. Aplikasi ini menjadi solusi pengganti untuk SMS yang berbiaya mahal.
Sekarang aplikasi ini banyak digunakan untuk chatting. Chatting sendiri sebenarnya bisa berarti ngobrol. Dalam konteks ini kita bisa menyebutnya sebagai “pesan singkat cepat”. Seharusnya pesan singkat cepat digunakan untuk hal-hal urgent, misalnya mengingatkan, memberitahu, dan mengkonfirmasi. Contohnya, mengingatkan bahwa saat ini rapat akan segera dimulai.
Alat Komunikasi Resmi
Saat ini, WhatsApp telah mengalami pergeseran fungsi—dari yang awalnya hanya digunakan untuk keperluan chatting, kini sering dimanfaatkan untuk komunikasi yang bersifat resmi. Banyak pihak, termasuk di lingkungan kerja atau instansi, merasa bahwa aplikasi ini praktis dan cepat, sehingga sering dijadikan sarana untuk menyampaikan instruksi atau koordinasi pekerjaan.
Pilihan ini dapat dipahami, mengingat kebutuhan akan kecepatan dan respons instan dalam dinamika kerja saat ini. Namun demikian, jika penggunaan WhatsApp sebagai media komunikasi utama terus dilakukan tanpa batas yang jelas, maka potensi munculnya berbagai kendala juga tidak bisa diabaikan. Mulai dari pesan yang mudah tenggelam, instruksi yang tidak terdokumentasi, hingga file atau informasi penting yang bisa terhapus tanpa jejak.
Instruksi yang tenggelam
WhatsApp bukanlah ruang kerja yang terstruktur. Pesan-pesan datang bertumpuk tanpa hirarki, tanpa prioritas, dan tanpa pemisahan konteks. Karena itu, instruksi sangat rentan tenggelam di antara obrolan lain—terutama dalam grup kerja yang aktif. Saat pesan sudah terkubur terlalu jauh, mencarinya pun menjadi sulit dan memakan waktu, bahkan ketika kita tahu kira-kira kapan dikirimnya.
Instruksi yang kurang jelas
WhatsApp mendorong gaya komunikasi yang cepat dan serba singkat. Ini menyebabkan banyak instruksi dikirim dalam bentuk yang ringkas, padat, dan tidak lengkap. Kalimat yang tidak lengkap, konteks yang tidak dijelaskan, atau asumsi yang tidak diutarakan, semuanya bisa berujung pada kesalahpahaman. Sementara itu, jika instruksi ditulis panjang, tampilannya justru tidak nyaman dibaca karena terpotong-potong atau tidak bisa di-scan dengan baik. Hasil akhirnya: pesan penting jadi mudah dilewatkan atau disalahartikan.
File di Whatsapp mudah hilang
File yang dikirim melalui WhatsApp sering kali tidak diunduh secara otomatis, dan jika tidak segera dibuka, file tersebut akan kedaluwarsa dan tidak bisa diakses kembali. Dalam banyak kasus, pengguna baru menyadari bahwa file hilang justru saat sedang membutuhkannya—dan tidak ada salinan atau backup. Untuk dokumen kerja, hal ini sangat berisiko.
Pesan dihapus Pengirim
Ini adalah celah paling berbahaya. WhatsApp memungkinkan pengirim menghapus pesan secara sepihak bahkan setelah pesan tersebut dibaca. Jika sebuah instruksi kerja disampaikan melalui WhatsApp, lalu dihapus oleh pengirim setelah pekerjaan selesai, maka tidak ada lagi bukti bahwa instruksi tersebut pernah ada. Ini membuka celah bagi kesalahpahaman, manipulasi, bahkan pengingkaran tanggung jawab. Bayangkan: kita sudah bekerja keras menyelesaikan tugas, tetapi tidak ada jejak perintah yang mendasarinya—karena sudah dihapus. Sistem seperti ini tidak memberikan jaminan kejelasan maupun akuntabilitas.
Alternatif Whatsapp
Aku tidak hanya sekadar mengkritik tanpa solusi. Justru, solusinya sudah ada dan sudah lama kita kenal: kembali ke email.
Email diciptakan untuk komunikasi yang lebih terstruktur, terdokumentasi, dan dapat dipertanggungjawabkan. Berbeda dengan WhatsApp, email tidak memungkinkan pengirim menghapus pesan secara sepihak setelah terkirim. Setiap pesan memiliki subjek, waktu kirim yang jelas, dan dapat dengan mudah disimpan, ditandai, atau dicari kembali—bahkan bertahun-tahun kemudian.
Email juga lebih mendorong kita untuk menyusun pesan secara rapi dan lengkap, karena tampilannya memang dirancang untuk membaca dengan nyaman, bukan sekadar melihat sekilas. Jika kita mengirim instruksi, laporan, atau dokumen penting melalui email, maka semuanya akan tersimpan dengan baik dan dapat ditelusuri kembali sebagai catatan resmi.
Oleh karena itu, bukan berarti kita harus meninggalkan WhatsApp sepenuhnya, tapi kita perlu menempatkannya sesuai fungsinya. WhatsApp bisa digunakan untuk hal-hal ringan dan cepat—seperti pengingat, konfirmasi, atau menyampaikan kabar singkat. Namun untuk hal-hal yang menyangkut tanggung jawab, penugasan, atau keputusan kerja, sudah semestinya kita kembali menggunakan email. Karena stabilitas, kejelasan, dan dokumentasi tidak boleh dikorbankan demi kecepatan.