Konsep “Manusia Alpha” sering dikaitkan dengan sosok manusia yang terlahir dominan —seseorang yang secara alami memimpin, disukai banyak orang, dan selalu menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, ada manusia yang disebut Beta, yang hanya bisa menjadi pengikut, lemah, dan tidak punya daya saing. Narasi tersebut banyak ditemukan dalam konten motivasi dan juga forum maskulinitas. Tapi apakah memang benar begitu? Apakah dominasi dan kepemimpinan memang bawaan lahir? Jawabannya: tentu saja tidak. Lalu dari mana konsep Manusia Alpha itu muncul? Mari kita coba bongkar mitosnya.
Asal Usul Istilah Alpha
Sebenarnya “alpha male” merupakan istilah hasil daur ulang dari “alpha wolf”, yang pertama kali dipopulerkan oleh David Mech. Beliau merupakan ahli ekologi satwa liar dengan spesialisasi pada perilaku dan ekologi serigala. Beliau lahir di Amerika Serikat tahun 1937 dan aktif meneliti tentang serigala sejak 1958 hingga saat ini. Selama perjalanan kariernya, beliau telah menerbitkan 11 (sebelas) buku tentang serigala.
Konsep “alpha wolf” muncul pada buku Mech berjudul The Wolf: Ecology and Behavior of an Endangered Species (1970). Dalam buku tersebut, Mech menceritakan bahwa dalam suatu kelompok serigala terdapat seekor serigala jantan yang sangat dominan sehingga memiliki akses istimewa terhadap makanan dan pasangan. Serigala dominan ini disebut sebagai alpha. Menurut Mech, posisi alpha itu diperoleh dari kompetisi dalam kelompok serigala.
Kesalahan tentang Alpha
Penelitian Mech yang menghasilkan istilah alpha wolf sebenarnya dilakukan di penangkaran serigala. 30 tahun kemudian Mech melakukan penelitian serigala di habitat aslinya, yaitu di alam liar. Mech menemukan bahwa di alam liar, kawanan serigala sebenarnya adalah unit keluarga, yang terdiri dari induk jantan, betina dan anak-anak mereka. Tidak ada perebutan kekuasaan atau dominasi seperti asumsi sebelumnya. Jadi, pemimpin kelompok bukanlah “alpha” sebagai penguasa namun kepala keluarga yang membimbing anak-anaknya. Alpha pada serigala seringkali merupakan pimpinan kelompok yang setia pada pasangannya.
Miskonsepsi tentang Manusia Alpha
Jika alpha diambil dari alam liar, lantas bagaimana bisa muncul konsep manusia alpha yang dianggap sebagai manusia yang lahir untuk mendominasi dan memimpin? Padahal, penemu istilah tersebut —David Mech— sudah lama mengoreksi bahwa serigala alpha bukanlah serigala yang terlahir untuk mendominasi kelompoknya, melainkan sekadar kepala keluarga dari kawanan serigala. Jika bukan dari serigala, lalu dari mana konsep ‘manusia alpha’ itu muncul?
- Frans de Waal — Primatolog & Etolog (1982) memperkenalkan ide bahwa hierarki pada simpanse (bukan serigala) bisa relevan untuk interaksi manusia. Tapi beliau sendiri tidak secara eksplisit menyatakan manusia harus hidup seperti simpase.
- Media pada awal tahun 1990-an awal mulai menggunakan istilah “alpha” dan “beta” untuk menggambarkan figur manusia maskulin yang dominan dan manusia yang pasif
- Neil Strauss & manosphere 2005 menjadikan alpha sebagai citra ideal dan gaya hidup.
Hingga kini, masih banyak yang mengasumsikan manusia alpha sebagai manusia yang terlahir dominan dan memimpin. Konsep ini tersebar luas di berbagai konten motivasi, video maskulinitas, bahkan dijadikan sebagai tolok ukur kesuksesan laki-laki. Asumsi semacam ini tidak hanya salah secara ilmiah, namun juga terlalu menyederhanakan proses panjang bagaimana kepemimpinan manusia terbentuk.
Dominasi dan Kepemimpinan
Dalam dunia manusia modern, dominasi dan kepemimpinan merupakan 2 hal yang berbeda. Dominasi seringkali diperoleh dari kekuatan atau kekuasaan, sedangkan kepemimpinan diperoleh dari keterampilan dan kepercayaan. Seseorang yang mendominasi secara kekuatan belum tentu baik dari sisi kepemimpinan. Sebaliknya seorang yang terampil sebagai pemimpin belum tentu juga mendominasi, pemimpin yang terampil senantiasa mengorbankan kepentingan dirinya untuk kelompok.
Kesimpulannya, tidak ada manusia yang benar-benar terlahir sebagai alpha, yang otomatis dominan dan memimpin. Dominasi dan kepemimpinan pada manusia bukanlah bawaan lahir, melainkan hasil dari proses belajar dan berlatih. Bahkan, dalam konsep kepemimpinan modern, pemimpin sejati bukanlah orang yang mendominasi kelompok, tapi seseorang yang mampu mendengarkan, memahami dan mengarahkan kelompoknya dengan empati dan kebijaksanaan.