Kali ini, aku ingin membahas kenapa sensitivitas otak terhadap dopamin menurun akibat hiburan tinggi dopamin—jenis hiburan yang memberi kita rasa senang secara instan, tapi sering kali meninggalkan jejak lelah dan sulit fokus setelahnya. Hiburan semacam ini biasanya kita peroleh dari scrolling media sosial, menonton video pendek (seperti YouTube Shorts, TikTok, atau Reels), ngemil tanpa sadar, atau bermain gim yang membuat kita lupa waktu. Sekilas terasa menyenangkan, tapi tanpa disadari, otak kita bisa jadi terlalu terbiasa dengan rangsangan cepat tersebut, hingga kehilangan minat pada aktivitas lain yang lebih bermakna—seperti membaca, belajar, atau menyelesaikan tugas penting.
Dopamin apa ya?
Sebelum kita lanjut, kita kenalan dulu yuk. Dopamin adalah senyawa kimia di otak (neurotransmitter) yang berperan penting dalam sistem motivasi, kesenangan, dan pembelajaran. Ketika kita melakukan aktivitas yang menyenangkan, otak akan melepaskan dopamin sebagai sinyal bahwa sesuatu itu menyenangkan. Selain memberikan sinyal, dopamin juga memberikan dorongan kepada kita untuk mengulang aktivitas pemicu kesenangan itu lagi dan lagi. Berikut ini adalah contoh kegiatan pemicu dopamin:
- menikmati makanan favorit
- mendapat pujian
- menonton video lucu
- menonton drama korea
- membuat kemajuan tugas
- menyelesaikan tugas sulit
Dari contoh di atas, dopamin ternyata tidak selalu dipicu oleh aktivitas yang menghibur. Mendapatkan kepuasan setelah mengerjakan tugas yang menantang juga akan memicu dopamin. Jadi kita bisa mengelompokkan dopamin berdasarkan cara kita mendapatkannya, yaitu:
- Dopamin dari aktivitas mudah: yang diperoleh dari hiburan instan dan kepuasan cepat.
- Dopamin dari aktivitas sulit: yang diperoleh dari usaha dan pencapaian.
Menariknya, dopamin yang dihasilkan dari aktivitas yang sulit akan memberikan efek kepuasan jangka panjang. Sebaliknya, dopamin yang didapatkan dari aktivitas mudah akan membuat kita mudah bosan dan cenderung terus mencari pemicu dopamin instan berikutnya. Jika kita ibaratkan dopamin sebagai uang, maka aktivitas pemicu dopamin instan ibarat kita menggunakan “pesugihan” –cepat memberi rasa senang, tapi berisiko membuat kita ketagihan dan kehilangan kendali dalam jangka panjang. Justru kita yang akan dikendalikan oleh “dedemit pesugihan”. 👻
Otak yang terlalu sering mendapatkan dopamin instan akan menjadi kurang responsif terhadap rangsangan yang berasal dari usaha dan pencapaian. Aktivitas yang dulu bisa memicu rasa puas—seperti menyelesaikan tugas atau mencapai target—jadi terasa hampa. Akibatnya, pencapaian tidak lagi memberikan suntikan dopamin yang cukup untuk memuaskan otak. Sebaliknya, otak malah “menagih” dopamin instan dari hiburan cepat —seperti scrolling, menonton video pendek, atau ngemil berlebihan.
Memulihkan Sensitivitas Dopamin
Lantas bagaimana jika ternyata kita sudah terjerumus dengan hiburan tinggi dopamin. Apakah ada obatnya? Kabar baiknya: “ada obatnya”. Otak manusia itu bersifat plastis, artinya, bisa berubah dan beradaptasi. Meskipun otak telah sering dimanjakan dengan dopamin instan, kita dapat melatih otak untuk tidak manja (kembali menikmati kepuasan dari proses dan pencapaian).
Untuk memulihkan sensitivitas dopamin, kita perlu memberi otak waktu tanpa rangsangan tinggi. Psikiater Stanford, Anna Lembke dalam bukunya Dopamine Nation, menyebut ini sebagai “reset reward pathway” — memberi jeda agar otak kita bisa kembali merasakan kepuasan dari hal-hal sederhana. Langkah ini sejalan dengan apa yang disarankan Cal Newport dalam Digital Minimalism, yaitu puasa dari hiburan instan agar kita bisa kembali menghargai proses yang bermakna.
Berikut ini adalah beberapa langkah praktis dari kedua tokoh di atas yang dapat kita terapkan:
- Hindari semua bentuk hiburan instan: Media sosial, video pendek (TikTok, YouTube Shorts, Reels), camilan, game dan scrolling tanpa tujuan
- Matikan notifikasi yang tidak penting
- Biarkan diri merasa bosan dengan disengaja
- Hapus atau sembunyikan aplikasi yang tidak benar-benar penting
- Atur waktu penggunaan teknologi dengan sadar
- Evaluasi fungsi teknologi. Hapus aplikasi yang tidak benar-benar digunakan.
- Ganti waktu layar (screen time) dengan aktivitas bernilai jangka panjang: membaca buku, menulis jurnal, berjalan santai tanpa membawa gawai, ngobrol langsung dengan orang lain
- Lakukan aktivitas yang memberi dopamin lewat pencapaian: mengerjakan proyek penting, belajar hal baru, menyelesaikan tugas yang tertunda
- Nikmati kepuasan dari proses, bukan hasil instan.
Pengalamanku
Aku sendiri saat ini juga sedang menjalankan proses pemulihan sensitivitas dopamin. Berikut ini adalah beberapa langkah yang aku lakukan:
- Aku sudah menghapus seluruh akun media sosialku. Rasanya seperti memutus satu saluran dopamin instan terbesar dalam hidup. Kini, hanya WhatsApp yang tersisa—itu pun tanpa notifikasi.
- Tidak ada notifikasi aplikasi yang aku izinkan, termasuk notifikasi dari WhatsApp
- Aku mengganti launcher di HP menggunakan Olauncher, yang tampilannya benar-benar sederhana—hanya berupa daftar aplikasi tanpa ikon atau warna mencolok. Rasanya seperti HP yang dibuat khusus untuk hidup minimalis dan fokus.
- Aku membuat to-do list untuk setiap proyek. Dari situ aku mendapatkan kepuasan dari kegiatan centang mencentang to-do list
- Istirahatku aku ubah menjadi istirahat tanpa layar (tanpa YouTube, tanpa scrolling)
- Aku juga sedang belajar untuk bosan dengan sadar. Seperti Patrick, temannya SpongeBob yang ahli dalam hal “tidak ngapa-ngapain” 😌.
Sebenarnya, aku menulis ini karena aku sendiri sedang belajar—belajar memahami cara kerja dopamin dan memulihkan kembali sensitivitas otakku terhadap hal-hal yang bermakna. Aku masih sering tergelincir, masih mencari ritme yang pas, dan masih terus mencoba. Kalau teman-teman juga sedang merasakan hal yang sama, semoga ada sedikit manfaat atau penguatan dari apa yang kubagikan di sini. Kita belajar bersama.